KESEIMBANGAN BUANA ALIT DAN BUANA AGUNG
Pascatragedi Bom di Kuta
Kembalikan Keseimbangan "Buana Alit" dan "Buana Agung"
Kembalikan Keseimbangan "Buana Alit" dan "Buana Agung"
UPACARA sapuh
awu maknanya sama dengan prayascita atau parisudha, yakni membersihkan tempat
kejadian dari kekotoran atau mala kepancabayan. Terkait dengan Tragedi Kuta --
yang menewaskan ratusan korban jiwa -- upacara itu sudah dilakukan di tempat
kejadian. Sementara ritual selanjutnya, adalah upacara pecaruan untuk menjaga
keseimbangan buana alit dan buana agung. Sebelum diadakan pecaruan, umat sudah
melakukan upacara guru piduka di pura-pura bertujuan untuk memohon pengampunan
manakala umat secara tidak sengaja telah membuat kesalahan terkait dengan
adanya tragedi, Sabtu Kelabu (12/10) lalu.
Menurut
Kakanwil Depag Agama Bali Gusti Made Ngurah, pecaruan yang dilakukan terkait
dengan Tragedi Kuta cukup Balik Sumpah yakni caru tingkatan madya. Ritual itu
mengandung makna bahwa umat bertekad mengembalikan kesucian tempat itu dan
berupaya melupakan bahwa di sana seolah-olah sebelumnya tidak pernah terjadi
sesuatu yang memilukan. Pelaksanaan caru itu bisa dilakukan di perempatan Kuta
atau catuspata. Umatlah yang melakukan, sementara pemerintah mendukungnya.
Menurut
Ngurah, sisa-sisa reruntuhan akibat ledakan bom secara fisik memang perlu
dibersihkan, tetapi secara niskala juga mesti dilakukan lewat ritual tadi.
"Dengan demikian, diharapkan keseimbangan buana agung dan buana alit
kembali seperti sediakala," ujarnya.
Gusti
Made Ngurah kurang setuju dengan ide perlunya ada ngaben masal di tempat
kejadian. Yang namanya ngaben, merupakan tradisi Hindu Bali. Ngaben
dilaksanakan oleh masing-masing keluarganya, dan dilakukan di setra atau tempat
yang memang ditetapkan untuk itu. Tetapi, mengingat yang tewas dalam ledakan
itu berbagai agama, apakah ide adanya ngaben masal itu tepat. Lagi pula tempat
itu bukanlah setra. Jadi, kurang tepat ada ngaben masal di tempat tersebut.
Jika umat
ingin diberkati rasa ketenangan dan kedamaian, di masing-masing sanggah atau
merajan bisa nyejeran daksina --untuk memohon kepada para leluhur ikut
memberikan ketenangan kepada pertisentana-nya. Alam para leluhur yang paling
dekat dengan alam manusia di muka bumi. Karena itu, umat Hindu Bali tidak ada
salahnya minta bimbingan para leluhur. Tetapi, doa kepada Tuhan tetap
dipanjatkan, agar umat diberikan kerahayuan.
Sementara
itu pemangku catur loka pala Desa Adat Sesetan I Ketut Gede Yudistira
mengatakan, prayascita bumi mengandung makna membersihkan tempat dari gangguan
bhuta kala. Sementara upacara guru piduka, mohon kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa agar diberi pengampunan akibat munculnya musibah yang dilakukan umat
manusia. "Guru piduka bisa disebut semacam ritual permohonan maaf kepada
beliau agar tidak melanjutkan kemarahan-Nya," katanya. Dalam Tragedi Kuta,
Gede Yudistira memandang upacara yang cocok dilakukan adalah caru labuh gentuh,
karena terjadi kedurmangalan atau keadaan yang tidak baik. Banyak korban jiwa
dalam Tragedi Sabtu Kelabu itu. Untuk menetralisasi tempat kejadian diperlukan
ritual berupa pecaruan labuh gentuh. Sementara bekas reruntuhan bangunan itu
memang tepat dibuang ke laut atau segara. Kenapa? Bekas kejadian itu dibuang ke
laut, karena di sana berstana Ida Batara Baruna. Dimohonkan kepada beliau agar
sisa reruntuhan itu dinetralisasi.
Sementara
bagi korban yang beragama Hindu yang tidak ditemukan jasadnya -- karena hangus
terbakar atau menjadi pecahan-pecahan kecil -- bisa mengambil sedikit tanah
atau abu, kemudian dibuatkan adegan lanjut diupacarai -- ngulapin -- dan
namanya dipanggil di sana. Adegan itu bisa dikubur seperti halnya mengubur
mayat. Tetapi, karena mereka mati tergolong salahpati, katanya, upacara
pengabenan baru bisa dilakukan tiga tahun kemudian. Hal itu, kata Bendesa Adat
Sesetan, termuat dalam Lontar Yatmatatwa. Jika lebih dari tiga tahun belum
diaben, umat ada yang meyakini arwahnya menjadi bhuta cuil
0 komentar:
Posting Komentar