Jumat, 28 September 2012

0 BUDI PEKERTI


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Pendidikan Budi PekertiPentingnya nilai akhlak, moral serta budi luhur bagi semua warga negara kiranya tidak perlu diingkari. Negara atau suatu bangsa bisa runtuh karena pejabat dan sebagian rakyatnya berperilaku tidak bermoral.
Perilaku amoral akan memunculkan kerusuhan, keonaran, penyimpangan dan lain-lain yang menyebabkan kehancuran suatu bangsa. Mereka tidak memiliki pegangan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Oleh karena itu, nilai perlu diajarkan agar generasi sekarang dan yang akan datang mampu berperilaku sesuai dengan moral yang diharapkan.
Terwujudnya manusia Indonesia yang bermoral, berkarakter, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur merupakan tujuan dari pembangunan manusia Indonesia yang kemudian diimplementasikan ke dalam tujuan pendidikan nasional.

Pengertian Pendidikan Budi Pekerti

Pada hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Pengertian pendidikan budi pekerti menurut Haidar (2004) adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan prilaku peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan alam/lingkungan.
Tujuan pendidikan Budi Pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan prilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur (Haidar, 2004). Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan Budi Pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam tingkah lakunya.

Penerapan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah

Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu.
1.      Strategi pertama ialah dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kwarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah).
2.      Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.
3.      Strategi ketiga ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan.
4.      Strategi keempat ialah dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik.
Berkaitan dengan implementasi strategi pendidikan budi pekerti dalam kegiatan sehari-hari, secara teknis dapat dilakukan melalui:
a.      Keteladanan
Dalam kegiatan sehari-hari guru, kepala sekolah, staf administrasi, bahkan juga pengawas harus dapat menjadi teladan atau model yang baik bagi murid-murid di sekolah. Sebagai misal, jika guru ingin mengajarkan kesabaran kepada siswanya, maka terlebih dahulu guru harus mampu menjadi sosok yang sabar dihadapan murid-muridnya.
Begitu juga ketika guru hendak mengajarkan tentang pentingnya kedisiplinan kepada murid-muridnya, maka guru tersebut harus mampu memberikan teladan terlebih dahulu sebagai guru yang disiplin dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
Tanpa keteladanan, murid-murid hanya akan menganggap ajakan moral yang disampaikan sebagai sesuatu yang omong kosong belaka, yang pada akhirnya nilai-nilai moral yang diajarkan tersebut hanya akan berhenti sebagai pengetahuan saja tanpa makna.
b.      Kegiatan spontan.
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui sikap/tingkah laku peserta didik yang kurang baik, seperti berkelahi dengan temannya, meminta sesuatu dengan berteriak, mencoret dinding, mengambil barang milik orang lain, berbicara kasar, dan sebagainya.
Dalam setiap peristiwa yang spontan tersebut, guru dapat menanamkan nilai-nilai moral atau budi pekerti yang baik kepada para siswa, misalnya saat guru melihat dua orang siswa yang bertengkar/berkelahi di kelas karena memperebutkan sesuatu, guru dapat memasukkan nilai-nilai tentang pentingnya sikap maaf-memaafkan, saling menghormati, dan sikap saling menyayangi dalam konteks ajaran agama dan juga budaya.
c.       Teguran.
Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat membantu mengubah tingkah laku mereka.
d.      Pengkondisian lingkungan.
Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa melalui penyediaan sarana fisik yang dapat menunjang tercapainya pendidikan budi pekerti.
Contohnya ialah dengan penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh peserta didik, dan aturan/tata tertib sekolah yang ditempelkan pada tempat yang strategis sehingga mudah dibaca oleh setiap peserta didik.
e.       Kegiatan rutin.
Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat.
Contoh kegiatan ini adalah berbaris masuk ruang kelas untuk mengajarkan budaya antri, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, dan membersihkan ruang kelas tempat belajar.

Hambatan dalam penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah

Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan guru kepada peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah, sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai.
Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti di sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif, pihak sekolah perlu membangun komunikasi dan kerjasama dengan orang tua murid berkenaan dengan berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah. Tujuannya ialah agar terjadi singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang di ajarkan di sekolah dengan apa yang ajarkan orang tua di rumah.
Selain itu, agar pendidikan budi pekerti di sekolah dan di rumah dapat berjalan searah, sebaiknya bila memungkinkan orang tua murid hendaknya juga dilibatkan dalam proses identifikasi kebutuhan program pendidikan budi pekerti di sekolah.
Dengan pelibatan orang tua murid dalam proses perencanaan program pendidikan budi pekerti di sekolah, diharapkan orang tua murid tidak hanya menyerahkan proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka kepada pihak sekolah, tetapi juga dapat ikut serta mengambil tanggung jawab dalam proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka di keluarga.




Kamis, 27 September 2012

0 TEMBANG GEGURITAN


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

GEGURITAN MANUSE YADNYE
1. Kawitan Tantri - Pendahuluan. 
·         Wuwusan Bhupati. Ring Patali nagantun. Subaga wirya siniwi. Kajrihin sang para ratu. Salwaning jambu warsadi. Prasama hatur kembang tahon.
·         Tuhu tan keneng api. Pratapa sang prabu Kesyani ruktyeng sadnyari. Sawyakti Hyang Hari Wisnu. Nitya ngde ulaping ari. Sri dhara patra sang katong.
·         Wetning raja wibawa, mas manik penuh. Makinda yutan ring bahudanda. Sri Narendra, Sri Singapati, Ujaring Empu Bhagawanta. Ridenira panca-nana. Bratang penacasyan. Hatur Hyang Dharma nurageng bhuh.
·         Kadi kreta yuga swapurneng nagantun Kakwehan sang yati. Sampun saman jayendrya. Weda Tatwa wit. Katinen de Sri Narendra. Nityasa ngruci tutur. Tan kasareng. wiku apunggung wyara brantadnya ajugul.
2. Demung Sawit (bawak, dawa) 
·         Tuhu atut bhiseka Nrapati. Sri Eswaryadala. Dala kusuma patra nglung, Eswarya raja laksmi.  Sang kulahamenuhi rajya.  Kwening bala diwarga. Mukya sira.  Kryana patih Sangniti Bandeswarya patrarum.
·         Nityasa angulih- ulih amrih sutrepting nagara,  lan sang paradimantriya. Tuhu widagda ngelus bhumi.  Susandi tinut rasaning aji, Kutara manawa.  Mwang sastra sarodrsti.  Matangyan tan hanang baya kewuh.
·         Pirang warsa Sri Nrapati Swaryadala. Tusta ngering sana. Kaladiwara hayu. Sri narapati.  Lagya gugulingan ring taman.  Ring yaca ngurddha angunggul. Yayamireng tawang.  Tinum pyata tinukir.  Kamala kinanda-kada.  Langu inipacareng santun.
·         Mangamyat kalangenikang nagara.  Tisoba awiyar. Indra bhuwana nurun, Kweh tang pakwana titip.  Pada kabhi nawa.  Dening sarwendah linuhung. Liwar sukanikang wong.  Anamtami kapti.  Arumpuka sari sama angrangsuk bhusana aneka marum.

GEGURITAN PITRA YADNYA

1. Menurunkan Jenazah untuk dimandikan
Cewana - Girisa
·         Ata sedengira mantuk sang suralaga ringayun. Tucapa aji wiratan. Karyasa nagisi weka. Pinahajongira laywan sang putra mala piniwa. Pada litu hajenganwam. Lwir kandarpa pina telu.
·         Lalu laranira nasa sambat putranira pejah. Lakibi sira sumengkem ring putra luru kinusa. Ginamelira ginanti kang laywan lagi ginugah. Inutusira masabda kapwa ajara bibi aji.

2. Memandikan Jenazah
Nyiramang Layon
·         Bala ugu dina melah, manuju tanggal sasih. Pan Brayut panamaya. Asisig adyus akramas. Sinalinan wastra petak. Mamusti madayang batis. Sampun puput maprayoga, tan swe ngemasin-mati.
·         Ikang layon ginosongan, ne istri tuhu satya, de pamayun matingkah. Eteh eteh sang paratra. Toya hening pabresihan. Misi ganda burat-wangi. Lengise pudak sategal. Sumar ganda mrbuk arum.
·         Pusuh menuhe uttama. Malem sampun macawisan. Tekening edon intaran. Bebek wangi lengis kapur. Monmon mirah windusara. Waja meka panca datu. Don tuwung sampun masembar. Sikapa kalawan taluh.
·         Buku-buku panyosalasan. Pagamelane salaka. Kawangene panyelawean. Gegalenge satak-seket. Sampun puput pabersihan. Winiletang dening kasa. Tikeh halus wijil jawa. Lante maulat panyalin.

3. Pergi ke Kuburan
Indra - wangsa 
·         Mamwit narendratmaja ring tapowana. Manganjali ryagraning indra parwata. Tan wis mrti sangka nikang hayun teka. Swabhawa sang sajana rakwa mangkana.
·         Mangkat dateng toliha rum wulat nira.  Sinambaying camara sangkaring geger. Panawanging mrak panangisnikungalas. Erang tininggal masaput-saput hima.
·         Lunghang lengit lampahira ngawe tana. Lawan Sang Erawana bajranaryama. Tan warnanen decanikang katungkulan.  Apan leyep muksa sahinganing mulat.

4. Memperabukan Jenazah
Ngeseng Sawa 
·         Sang atapa sakti bhakti, astiti purwa sangkara. Yan mati maurip malih. Wisesa sireng bhuwana. Putih timur abang wetan. Rahina tatas apadang. Titisning jaya kamantyan. Mapageh ta samadinira.
·         Nghulun angadeg ring natar. Kamajaya cintanya. Sang atunggu parawean. Mawungu pakarab-karab. Ilangani dasa-mala, amrtang gangga asuci. Pamunggal rwaning wandira. Pinaka len prehanira.
·         Yan sampun sira araup. Isinikang kundi manik. Anut marga kita mulih. Yan sira teka ring umah. Tutugaken samadinta. Sapangruwat sariranta. Isenikang pangasepan. Kunda kumutug samiddanya.
·         Wewangen dadi tembaga. Rurube kang dadi emas. Arenge kang dadi wesi, Awune kang dadi selaka. Kukuse kang dadi mega. Yeh iku manadi ujan. Tumiba ring Mrecapada. Yeh iku dadi amretta.

5. Menghanyutkan abu ke laut
Rikala ngayut
·         Ring wetan hana telaga. Rikata hulun adyusa. Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat. Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sarira. Sakwehing malapataka. kalebura ring tanane.
·         Ring kidul hana talaga. Rikata hulun adyusa. Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat. Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra. Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
·         Ring kulon hana talaga. Rikata hulun adyusa. Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat. Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra. Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
·         Ring lor hana talaga. Rikata hulun adyusa. Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat. Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra. Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
·         Ring madya hana talaga. Rikata hulun adyusa. Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat. Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra. Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
·         Sampun ta sira abresih, anambut raja bhusana. Binurating sarwa sari. Mrebuk arum gandaning wang. Matur sira ring Hyang Guru. Sinung wara nugraha sira. Keasunganing mandi swara. Paripurna tur nyewana

GEGURITAN DEWA YADNYA
1. Awal Persembahyangan
Kawitan Warga Sari
·         Purwakaning angripta rumning wana ukir. ahadang labuh. Kartika penedenging sari. Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.
·         Sukania harja winangun winarne sari. Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi. Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejenga

2. Pangayat (Penghaturan sajen)
Kidung Warga Sari 
·         Ida Ratu saking luhur. Kawula nunas lugrane. Mangda sampun titiang tanwruh. Mengayat Bhatara mangkin. Titiang ngaturang pajati. Canang suci lan daksina. Sami sampun puput. Pratingkahing saji.
·         Asep menyan majagau. Cendana nuhur dewane,Mangda Ida gelis rawuh. Mijil saking luhuring langit. Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko. Ancangan sadulur, sami pada ngiring.
·         Bhatarane saking luhur. Nggagana diambarane. Panganggene abra murub. Parekan sami mangiring. Widyadara-widyadari, pada madudon-dudonan, Prabhawa kumetug. Angliwer ring langit.

3. Pamuspan (Persembahyangan)
Merdu - Komala 
·         Ong sembah ning anatha. Tinghalana de Triloka sarana. Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh. Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita. Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.
·         Wyapi-wyapaka sarining paramatatwa durlabha kita. Icantang hana tan hana ganal alit lawan hala-hayu. Utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karananika. Sang sangkan paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.
·         Sasi wimbha haneng: ghata mesi banyu. Ndan asing suci nirmala mesi wulan. lwa mangkana rakwa kiteng kadadin. Ring angambeki yoga kiteng sakala.
·         Katemun ta mareka sitan katemu. Kahidepta mareka si tankahidep. Kawenang ta mareka si tan ka wenang. Paramartha Siwatwa nira warana.

4. Nunas tirtha 
Mohon tirtha 
·         Turun tirtha saking luhur. nenyiratang pemangkune. Mekalangan muncrat mumbul. Mapan tirtha mrtajati. Paican Bhatara sami, panglukatan dasa-mala. Sami pada lebur. Malane ring gumi.

0 HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. 

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan: 

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka. 

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan 

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.

Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. 

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut: 

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep 

Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. 

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. 

Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. 

Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: 

Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan. Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan. 

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." 

Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. 

Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria. 

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata. 

Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). 

Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga). 

Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya. Macam-macam Galungan Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. 

Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Galungan Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. 

Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan. 

Galungan Nadi Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober. Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. 

Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. 

Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali. 

Galungan Nara Mangsa 

Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut: 

"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran." 

Artinya: Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya. 

Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut: 

"Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah". 

Artinya: Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah. 

Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi. Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. 

Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama. 

Galungan di India 


Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang". 

Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas. 

Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan. 

Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma. 

Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman. 

Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma. 

Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin. 

Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual. 

(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni) 

0 DOA SEHARI-HARI


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Doa sehari-hari diucapkan atau disampaikan kehadapan Hyang Widhi yang pelaksanaannya dilakukan diluar acara sembahyang Trisandya dan persembahyangan lainnya yang dipimpin oleh pendeta. Doa ini untuk memulai kegiatan yaitu: bangun pagi, mandi pagi, sebelum dan sesudah makan, bepergian atau meninggalkan rumah, melihat atau mendengarkan orang sakit atau pula dalam keadaan sakit, mulai belajar, memulai pekerjaan, dan lain sebagainya.

Apa perbedaan Berdoa dan Sembahyang?

Sembahyang :Sembahyang lebih bersipat formal dan dilakukan di tempat tertentu yang diyakini kesuciannya seperti berbagai tempat pemujaan/Pura.

Berdoa : Dapat dilakukan dimana saja,kapan saja, menggunakan bahasa apa sanseketa atau bahasa hati.

Mengapa kita mesti berdoa bukan sembahyang saja sudah cukup?

Kiata berkewajiban setiap saat ingat dan memusatkan perhatian kita kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan demikian Tuhan akan membukakan pintu hatiNya dan kita datang kepadaNya.

Adapun beberapa doa yang dapat dihimpun dalam halaman ini adalah:
Doa menjelang tidur :
Om asato ma sat ganaya,
Tamaso ma jayatir ganaya,
Mrityor mamritam gamaya,

(Tuhan tuntunlah hamba dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar, dari jalan yang gelap ke jalan terang, hindarkan hamba dari kematian menuju kehidupan abadi)

Doa bangun pagi :
Om, Jagraca prabhata kalasca nama swaha.
Om, Utedanim bhagawantah syamota
Prapitwa uta mandhye ahnam
Utodita maghawanta syuryasya wayam
Dewanam sumantau syama.

(Ya Tuhan hamba memujaMu kerena hamba telah bangun pagi dalam keadaan selamat. Tuhan Yang Maha Pemurah, jadikanlah hamba orang yang selalu bernasib baik pada hari ini, menjelang tengah hari dan seterusnya. Semoga para Dewa melindungi diri hamba.)

Doa membersihkan/mencuci muka :
Om Cam camani ya namah swaha.
Om wakra parisudaha ya namah swaha.

(Ya Tuhan, hamba memujaMu, semoga muka hamba menjadi bersih)

Doa menggosok gigi :
Om rahphat astra ya namah.
Om Sri Yogini Bhatari ya namah.

(Ya Tuhan sujud hamba kepada Dewi Sri, Bhatari Yogini, semoga bersihlah gigi hamba)

Doa berkumur :
Om Ang waktra parisudha ya namah swaha.

(Ya Tuhan, semoga bersihlah mulut hamba)

Doa membersihkan kaki :
Om Am khan kasodhaya iswara ya namah swaha.

(Ya Tuhan, semoga bersihlah kaki hamba)

Doa mandi :
Om Gangga amerta sarira sudhamam sawaha.
Om Sarira parisudhamam swaha.

(Ya Tuhan, engkau adalah sumber kehidupan abadi nan suci, semoga badan hamba bersih dan suci)

bisa juga dengan matra atau doa ini :
Om gangga ca yamune caiwa
Godawari saraswati
Narmade sindhu kaweri
Jale’smin sannidhim kuru

(Ya Tuhan, ijinkanlah hamba memanggil sungai suci Gangga, Yamuna, Godawari, Saraswati, Narmada, Sindhu dan Kaweri, semoga menganugrahkan kesucian kepada hamba)

Doa pada waktu mengenakan pakean :
Om tham Mahadewaya namah swaha,
Om busanam sarirabhyo parisudhaman swaha.

(Tuhan dalam perwujudanMu sebagai Tat Purusha, maka dewa yang Maha Agung, hamba sujud kepadaMu dalam menggunakan pakaian ini. Semoga pakaian hamba menjadi bersih dan suci.)
selesai berpakaian hendaknya melakukan Persembahyangan Trisandya.

Doa panganjali :
Diucapkan saat berjumpa dengan seseorang atau memulai suatu pembicaraan dalam sebuah pertemuan. Tangan dicakupkan seperti menyembah di angkat sejajar dada.

(Semoga selalu dalam keadaan selamat di lindungan Tuhan.)

Doa menghadapi makanan :
Om hiranyagarbha somawartatagre
Bhutasya jatah patireka asit
Sadha dhara pritiwim dyam utenam
Kasmai hawisa widhema

Om purnam madah purna midam
Purnat purnam udasyate
Purnasya purnam adaya
Purnam ewa wasisyate

(Ya Tuhan Yang Maha Pengasih. Engkau asal alam semesta dan satu-satunya kekuatan awal. Engkau yang memelihara semua mahluk, seluruh bumi dan langit. Hamba memuja Engkau. Ya Tuhan Yang Maha Sempurna dan membuat alam sempurna. Alam ini akan lenyap dalam kesempurnaanMu. Engkau maha kekal. Hamba mendapat makanan yang cukup berkat anugrahMu. Hamba menghaturkan terima kasih.)

Doa di atas baik untuk makan bersama, misalnya, pesta atau istirahat makan dalam suatu pertemuan. Jika sendirian bisa mengucapkan doa pendek ini yang di ambil dari kitab Yayurweda:

Om annapate annasya
No dehyanmiwasya susminah
Pra-pra dataram taris urjan
No dhehi dwipade catuspade

(Ya Tuhan, engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini, semoga memberi kekuatan dan menjauhkan dari penyakit. Bimbinglah hamba anugrahkan kekuatan kepada semua mahkluk.)

Doa mulai mencicipi makanan :
Om anugraha amrtadi sanjiwani ya namah swaha.

(Ya Tuhan, semoga makanan ini menjadi penghidup hamba lahir dan bathin yang suci.)